Berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bukan sekadar hasil dari keinginan spontanitas, apalagi lahir karena aksi rebut ruang kelas lalu mendeklarasikan diri sebagai organisasi. PMII lahir dari dialektika panjang gagasan ulama dan pemuda NU, sebuah proses yang matang, terstruktur dan melibatkan pergulatan pemikiran antara mahasiswa dan pemuda Nahdlatul Ulama (NU) pada masa transisi penting dalam sejarah bangsa.
Di tengah arus pertarungan ideologi kampus yang semakin tajam pasca-kemerdekaan, lahir kebutuhan mendesak untuk menghadirkan wadah kaderisasi yang berpijak pada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus mampu bersaing secara intelektual dalam ruang-ruang akademik dan sosial. Forum demi forum digelar. Diskusi demi diskusi dibuka. Dari ruang-ruang formal hingga perjumpaan sakral antar-kader muda NU, muncul gagasan harus ada organisasi mahasiswa yang bukan sekadar "Islam", tapi juga "berhaluan ke-NU-an" dan progresif secara sosial.
PMII tidak hadir karena satu dua orang memaksakan kehendak lalu mengklaim representasi mahasiswa. Ia tumbuh dari ruang musyawarah, dialektika pemikiran dan kesadaran historis, bahwa mahasiswa NU harus memiliki rumah ideologis yang autentik, bukan hanya menjadi suborganisasi atau bayangan dari organisasi lain.
Berbeda dengan beberapa organisasi yang mungkin lahir karena insiden kecil di kelas, dosen tidak hadir, lalu mahasiswa berebut wacana dan membentuk "organisasi" tanpa konsensus resmi. PMII berdiri melalui mekanisme formal, keputusan yang disepakati bersama dan diakui oleh struktur keulamaan NU pada masanya. Ia bukan gerakan pragmatis, tetapi manifestasi dari kesadaran spiritual dan sosial mahasiswa yang menolak pasrah pada zaman.
PMII berani berpikir, juga berani menempatkan diri di tengah persimpangan sejarah, menjembatani nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Di sinilah PMII berbeda. Ia organisasi mahasiswa. Ia adalah ruang pembebasan, ruang pembentukan diri dan ruang penemuan makna.