Skip to Content

Economic Growth Vis a Vis Kiamat Ekologis

Oleh Rieyandy Aries (Ketua I PC PMII Kota Parepare Masa Khidmat 2025-2026)
June 7, 2025 by
PMII Parepare

Saat ini, siapapun bisa mengklaim bahwa produksi emas lebih berharga daripada air, bahan mentah besi-baja lebih bernilai daripada tanah-tanah hutan, dan proyek energi terbarukan dinilai sebagai solusi konkret sterilisasi udara polutan.

Sering dikumandangkan pada forum kancah global, baik luar dan dalam negeri – narasi “Economic Growth” sebagai wujud optimalisasi ke sektor hilirisasi dan industri, namun kian tersangkut di pangkal lidah makelar penguasa. Alih-alih, syahwat profitabilitas tak pernah mencapai titik klimaks – di tangan elite kekuasaan, sumber daya alam dinilai punya peluang signifikan terhadap transisi kemajuan. Siapa sangka, gaung narasi pertumbuhan ekonomi menyimpan siasat ancaman besar bagi “kosmologis” peradaban lokal. Efek ilusi optik mengaburkan realitas,  teriakan rintihan alam dari pelosok-pelosok negeri yang terus-menerus dibungkam.

Greenpeace Indonesia mencatat aktivitas pertambangan nikel yang masif di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran—tiga pulau kecil di wilayah Raja Ampat yang semestinya dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dari investigasi lapangan, kerusakan tercatat meliputi lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami, serta limpasan tanah yang mengalir ke pesisir, memicu sedimentasi yang membahayakan terumbu karang dan merusak keseimbangan ekosistem laut. Tak berhenti di situ, Greenpeace juga menemukan bahwa sekitar 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pernah diterbitkan di kawasan ini, meskipun sebagian telah dicabut. Akan tetapi fakta memperlihatkan pola sistemik dimana keran perizinan tambang dibuka begitu longgar dan selalu saja memprioritaskan dahaga serta lapar para investor perusahaan.

Raja Ampat sendiri bukan sekadar gugusan pulau indah, ia adalah representasi perjuangan socio of culture, yakni perjuangan masyarakat adat atas pengakuan hak ulayat yang bersimpul erat dengan kearifan lokal dan semangat lestari menjaga surga tropis yang kaya biodiversitas. Kini teriakan perjuangan penolakan memeluk harapan, agar anak dan cucu kelak tidak dibiarkan mewarisi kemelaratan di tanah warisan leluhur, tidak menuntut pembangunan yang rela menyulap keindahan warna kehijauan alam menjadi warna serba kecoklatan akibat kerusakan, tidak pula hidup untuk memenuhi hasrat liar para orang-orang elit berjubah. Namun yang mereka perjuangkan adalah hak untuk hidup dan menjaga keseimbangan alam, menjaga hutan seperti menjaga ibu sendiri, dan memanen hasil laut yang segar dan bersih tanpa bercampur limbah beracun oleh perusahaan, bisa menikmati kemajuan zaman tanpa harus kehilangan warisan tanah. Sebab bagi mereka, setiap jengkal tanah dan seisinya adalah kontrak sakral yang tak tertulis dan tak pernah ditemukan dalam sepanjang literasi teoris oleh kemajuan zaman.

Sekarang, apa yang sepatutnya kita banggakan dari pencapaian pada sektor pariwisata yang menempati urutan ke 25 destinasi bahari terbaik dunia di tahun ini ? Sebagaimana sering diperdengarkan pada berita-berita media bahwa Raja Ampat merupakan episentrum biodiversitas laut dunia, lebih dari 600 spesies karang dan 1.500 spesies ikan. So what's ? Keindahan brand ekowisata yang di kemas dengan bumbu musik bernuansa cinta dan semangat kebangsaan berjudul “tanah airku” sebuah karya dari ibu soed ternyata dibalik layar visual terdapat dimensi realitas objektif yang paralel dengan kerusakan parah geospasial – imbas dari perusahaan akan berdampak secara berskala terhadap pencemaran peradaban laut, sementara di samping pulau, tanah kerukan yang paling dalam gema rintihan ibu pertiwi yang meminta pertolongan.

Lebih dekat dengan sorotan kasus pada segmentasi lingkungan akibat deforestasi, konflik lahan, dan kasus korup di beberapa wilayah Indonesia — seperti kasus suap dan gratifikasi tambang di Maluku Utara, sengketa pertambangan Wadas, serta konflik yang dihadapi masyarakat adat di Papua Barat dan Kalimantan, dan tak kalah sedihnya adalah duka atas kematian para pekerja tambang baik terdampak bencana alam seperti banjir, longsor maupun kecelakaan kerja akibat minimnya proteksi keselamatan kerja terhadap karyawan. Status quo di balik angka pendapatan nasional, menyimpan fakta carut marut yang destruktif.

Namun kini, impian itu terguncang. Suara-suara masyarakat adat yang memperjuangkan ruang hidupnya perlahan dikalahkan oleh beberapa tumpukan berkas izin tambang yang disahkan. Greenpeace Indonesia mencatat bahwa sekitar 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) sempat diterbitkan di kawasan Raja Ampat, meskipun sebagian kemudian dicabut setelah mendapat tekanan publik. Proses perizinan yang seharusnya mengedepankan prinsip kehati-hatian dan partisipasi warga, justru dipermudah melalui jalur yang memprioritaskan kepentingan investor, bukan kelestarian ruang hidup lokal.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Imbas bola panas dari Undang-Undang Cipta Kerja menggelinding liar ke ranah sosial, memperluas legitimasi korporasi atas penguasaan ruang ekologis. Regulasi ini, yang sedianya mendorong kemudahan berusaha, justru melemahkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak kelola masyarakat adat atas sumber daya alamnya. Dalam banyak kasus, perlindungan hukum terhadap masyarakat adat bersifat parsial dan inkonsisten, menunjukkan celah struktural dalam kebijakan lingkungan hidup di Indonesia.

Ironisnya, eksploitasi sumber daya alam yang seharusnya menjadi jalan menuju kemakmuran justru memperlebar jurang ketidakadilan. Negara, alih-alih menjadi pelindung hak-hak ekologis warganya, kerap menjadi fasilitator perampasan ruang hidup atas nama pembangunan ekonomi. Situasi ini menandakan kegagalan struktural dalam mewujudkan keadilan ekologis dan membuka pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi nasional ?

Jika ditinjau dari perspektif ekologi politik, konflik seperti ini mencerminkan ketimpangan relasi kuasa antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal. Artinya, sumber daya alam tidak hanya menjadi komoditas ekonomi, tetapi juga arena perebutan kekuasaan dan legitimasi. Sangat disayangkan apabila dalam upaya memajukan sektor perekonomian Indonesia justru  didasari oleh tindakan pengabaian yang tidak mengutamakan diskursus melalui ruang partisipasi publik yang inklusif.

Lebih lanjut, pakar ilmu politik dari universitas Indiana Amerika Serikat, Elinor Ostrom dalam teorinya tentang common pool resources menegaskan bahwa komunitas lokal memiliki kapasitas institusional untuk mengelola sumber daya secara berkelanjutan tanpa harus bergantung pada negara atau pasar. Tetapi ketika negara justru menyingkirkan peran masyarakat adat dalam pengambilan keputusan ruang hidup, maka yang tercipta bukanlah pembangunan, melainkan ketimpangan yang sistemik dan krisis ekologis yang berkepanjangan. Dalam berbagai kajiannya, Ostrom menekankan dua hal pokok. Pertama, pentingnya keragaman instutisi dalam pengelolaan sumberdaya, tidak hanya terpaku pada pasar atau negara. Kedua, kebutuhan akan pemahaman tentang kondisi faktor-faktor yang bepengaruh terhadap keutuhan pengelolaan sumberdaya, yang ia pandang sebagai salah satu tugas pokok ilmu sosial. Secara prinsipil, pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan membutuhkan: (1) aturan yang sesuai dengan kondisi sumberdaya, (2) kejelasan batasan wilayah dan pengguna (hak atas sumberdaya), (3) akutanbilitas sistem pemantauan; (4) adanya sanksi yang bersifat gradual; (5) tersedia penyelesaian konflik biaya rendah; (6) keterlibatan pihak-pihak yang terkait sehingga tercapai kesepakatan antara individu yang terlibat; dan (7) hadirnya sistem kepemimpinan yang mendukung.

Satu per satu – banyak tragedi bersemayam di dalam angka-angka statistik; laporan angin segar bagi segenap penghuni istana merdeka mengenai kontribusi investasi di sektor pertambangan dan pengolahan yang katanya mengalami surplus terhadap perekonomian nasional maupun daerah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menunjukkan, tahun 2024 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba mencapai Rp 269,6 triliun, atau 115% dari target capaian 2024 yang mencapai Rp 234,2 triliun.

Sesaat saja angin segar itu berhembus dengan sekencang-kencangnya – terbesit sebuah ragu yang telah mengakar pada akal dan relung hati yang terlanjur dihantui tanya –bahwa yang tidak tampak di permukaan publik adalah sebuah dampak yang selama ini dibungkam oleh data pertumbuhan sebagai klaim prestasi oleh negara, yang justru menimbulkan multiplier effect berkepanjangan secara domain menyentuh ke setiap lapisan-lapisan masyarakat terdampak oleh euforia pembangunan, utamanya kepada klaster masyarakat ekonomi menengah kebawah.

Berangkat dari kritikan pedas ini, peneliti Ekonom Amerika Serikat Joseph Stiglits dalam Making Globalization Work (2007) yang gamblang menyangsikan bahwa keadaan dunia yang saat ini sedang menghadapi tiga krisis eksistensial, yakni krisis iklim, krisis kesenjangan, dan krisis demokrasi. Merangkum pernyataan dari peneliti sebagaimana termuat dalam karyanya, setidaknya terdapat 2 poin sebagai wujud kebutaan elite-elite corporate terkait kondisi dunia yang di maksud, sebagai berikut :

  1. Aturan main atau cara pandang by sistem yang dianggap kurang fair cenderung menguntungkan negara-negara yang memiliki industri maju maupun perusahaan transnasional, lebih mengutamakan produk “kebendaan” untuk mengorbankan nilai-nilai ekologis, cara kerja sebuah sistem ekonomi yang kerap dipaksakan kepada negara-negara yang berstatus berkembang.
  2. Terlalu fokus pada statistik Produk Domestik Bruto (PDB) yang memuat soal data peningkatan pendapatan untuk mengukur kinerja suatu negara yang sama sekali tidak memberikan petunjuk solusi ke setiap permasalahan sosial yang terjadi.

Kita semakin mafhum, economic growth vis a vis kiamat ekologis mencerminkan paradoks antara ambisi pertumbuhan ekonomi dan kenyataan terhadap ancaman besar terhadap kasus kerusakan lingkungan. Hingga manusia akan sadar bahwa anggaran perbaikan kerusakan lahan tak bisa dibayar menggunakan uang. Air bersih lebih mahal daripada emas. Megahnya pameran kendaraan listrik modern yang serba futuristik dianggap sebagai solusi ramah lingkungan; padahal terdapat air mata dan darah yang telah menyatu dengan produk besi-baja dari saudara setanah air yang terdampak.

Ketika alam tak lagi memberi – disaat itulah kebahagiaan di balik jargon “uang dan kekuasaan adalah segala-galanya”  takkan mampu membiayai kerusakan dari krisis yang kita ciptakan sendiri.

PMII Parepare June 7, 2025
Share this post
Tags
Archive