Skip to Content

Antara Warisan dan Inovasi: Relevansi Ijtihad di Era Modern

Penulis oleh Naharuddin SR, S.H. (Ketua III Bidang Keagamaan PC PMII Kota Parepare Masa Khidmat 2025-2026)
April 27, 2025 by
PMII Parepare

​Dalam perjalanan panjang sejarah hukum Islam, kita melihat dinamika yang luar biasa dari masa pembentukan yang penuh semangat ijtihad, hingga periode stabilisasi hukum melalui kodifikasi dalam mazhab-mazhab fikih. Setiap fase memiliki nilai dan kontribusinya masing-masing. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul tantangan baru yang menuntut adanya pembaruan dalam cara umat Islam merespons perubahan zaman, termasuk dalam pendekatan terhadap ijtihad.

​Sebagian ulama terdahulu menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dengan pertimbangan menjaga stabilitas hukum dan menghindari kekacauan akibat interpretasi yang tak terkendali. Pandangan ini tentu lahir dari konteks sosial dan politik tertentu yang kala itu menuntut kehati-hatian. Namun demikian, dalam konteks masyarakat modern yang terus berkembang, muncul kebutuhan untuk meninjau kembali pendekatan tersebut secara bijak dan terbuka.

​Kita hidup di era yang diwarnai oleh perubahan cepat dan kompleksitas baru dari isu-isu etika teknologi, perubahan iklim, ekonomi digital, hingga hak-hak sipil dalam masyarakat multikultural. Semua ini menuntut respons hukum yang lebih adaptif dan kontekstual. Di sinilah ijtihad sebagai proses penggalian hukum yang kreatif dan bertanggung jawab menjadi sangat relevan kembali.

​Perlu diakui bahwa praktik taqlid mengikuti pendapat ulama terdahulu juga memiliki peran penting dalam menjaga kesinambungan tradisi keilmuan Islam. Ia menjadi jembatan antara generasi dan simbol penghormatan terhadap kedalaman ilmu para pendahulu. Namun, dalam menghadapi tantangan zaman, diperlukan keseimbangan antara penghormatan terhadap tradisi dan keberanian untuk menyesuaikan hukum dengan realitas sosial kontemporer.

​Gerakan pembaruan hukum Islam yang muncul dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa ijtihad tidak pernah benar-benar hilang dari khazanah pemikiran Islam. Di Indonesia misalnya, gagasan seperti fikih sosial, fikih mazhab nasional, hingga pendekatan hukum Islam yang inklusif dan responsif terhadap konteks kebangsaan adalah bukti bahwa ruang ijtihad tetap terbuka dan terus berkembang.

​Tentu, proses ini tidak mudah dan membutuhkan kehati-hatian. Ijtihad bukan sembarang pendapat pribadi, tetapi hasil dari metodologi yang mendalam, ilmu yang luas, dan kesadaran akan maqashid syariah atau tujuan-tujuan luhur dari hukum Islam itu sendiri, yaitu kemaslahatan umat. Karena itu, membuka ruang ijtihad bukan berarti menolak tradisi, tetapi berupaya menjaga relevansi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan yang terus berubah.

​Ke depan, tantangan kita adalah membangun ekosistem keilmuan yang mendukung lahirnya pemikir-pemikir hukum Islam yang tidak hanya kuat dalam teks, tetapi juga dalam membaca konteks. Lembaga pendidikan, pesantren, dan perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membina tradisi ijtihad yang sehat yang menghargai pendapat ulama terdahulu, namun juga membuka ruang bagi gagasan-gagasan baru yang relevan dengan zaman.

​Dengan semangat ini, kita berharap hukum Islam dapat terus hadir sebagai pedoman yang hidup—berakar pada nilai-nilai wahyu, namun tumbuh sesuai dengan dinamika kehidupan manusia modern. Maka, membuka ruang ijtihad hari ini bukanlah bentuk penolakan terhadap masa lalu, melainkan upaya meneruskan warisan keilmuan Islam secara dinamis dan penuh tanggung jawab.

 

 

PMII Parepare April 27, 2025
Share this post
Tags
Archive